Seorang Ibu bertanya kepada Ustad, apakah boleh iya  untuk bekerja di luar rumah. Karena sebelum menikah dia sudah bekerja  juga, dan kemudian hari setelah suami mempelajari agama, suaminya  melarang untuk tidak bekerja.  Ustad pun  memberikan masukan bahwa,  dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan  untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah. 
  Dalam  surat  al-Nahl, ayat 97 disebutkan secara tegas bahwa untuk meciptakan  kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dipersyaratkan peran aktif  setiap orang beriman, lelaki dan perempuan (secara eksplisit disebutkan  lelaki dan perempuan), tentu dengan melakukan aktifitas-aktifitas yang  positif (amalan shalihan). 
 Di  dalam surat al-Qashash,ayat-23-28, juga  dikisahkan mengenai dua puteri Nabi Syu'aib as yang bekerja menggembala  kambing di padang  rumput, yang kemudian bertemu dengan Nabi Musa as. Surat al-Naml ayat 20-44, juga  mengapresiasi kepemimpinan (karir politik) seorang perempuan yang  bernama Balqis. Disamping ayat-ayat lain yang mengisyaratkan bahwa  perempuan itu boleh bekerja menyusukan anak dan memintal benang. 
  Dalam  praktek kehidupan zaman Nabi Saw, banyak riwayat menyebutkan, beberapa  sahabat perempuan bekerja di dalam dan di luar rumah, baik untuk  kepentingan sosial, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebutlah  misalnya, Asma bint Abu Bakr, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja  bercocok tanam, yang terkadang melakukan perjalanan cukup jauh. Di dalam  kitab hadits Shahih Muslim, disebutkan bahwa ketika Bibi Jabir bin  Abdullah keluar rumah untuk bekerja memetik kurma, dia dihardik oleh  seseorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian dia melapor kepada Nabi  Saw, yang dengan tegas mengatakan kepadanya: "Petiklah kurma itu, selama  untuk kebaikan dan kemaslahatan". 
 Di  dalam literatur fikih (jurisprudensi Islam) juga secara umum tidak  ditemukan larangan perempuan bekerja, selama ada jaminan keamanan dan  keselamatan, karena bekerja adalah hak setiap orang. Variasi pandangan  ulama hanya muncul pada kasus seorang isteri yang bekerja tanpa restu  dari suaminya. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah: apakah seorang  isteri yang bekerja tanpa restu suami dianggap melanggar peraturan  agama? 
 Kalau lebih jauh menelusuri  lembaran-lembaran literatur fikih, dalam pandangan banyak ulama fikih,  suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri bekerja  mencari nafkah, apabila nyata-nyata dia tidak bisa bekerja mencari  nafkah, baik karena sakit, miskin atau karena yang lain (lihat fatwa Ibn  Hajar, juz IV, h. 205 dan al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573). 
  Lebih  tegas lagi dalam fikih Hambali, seorang lelaki yang pada awalnya sudah  mengetahui dan menerima calon isterinya sebagai pekerja (baca :  Perempuan Karir) yang setelah perkawinan juga akan terus bekerja, suami  tidak boleh kemudian melarang isterinya bekerja atas alasan apapun  (lihat : al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, juz VII, h. 795).